Agus Sunyoto: Fatwa dan Resolusi Jihad NU mengkombinasikan antara ideologi agama dan nasionalisme

GOMBONG (MadugoNews) – Kemerdekaan Republik Indonesia tidak dapat lepas dari cerita panjang perlawanan para pejuang di tanah air, salah satunya peperangan Pengeran Diponegoro yang membuat Belanda kehabisan akal untuk menahan sang pejuang yang bernama asli Raden Mas Mustahal atau Raden Ontowiryo itu.

“Perang Diponegoro salah satu perang yang membuat Belanda rugi berat,” begitu kata KH Agus Sunyoto dalam Seminar Napak Tilas Perang Diponegoro, yang diselenggarakan oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor Pimpinan Cabang Kebumen di Aula Benteng Van Der Wijck, Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, Rabu (8/11) malam.

Acara yang bertemakan “Membaca Kembali Perang Diponegoro di Gombong dalam Kaitannya dengan Resolusi Jihad NU”, itu dihadiri oleh Muspida Kebumen, Muspika Se Kabupaten Kebumen, Ketua Tanfidziyah MWC NU se Kabupaten Kebumen, Pengurus PC Muhammadiyah Kebumen, siswa tingkat SMA/SMK se Kab Kebumen serta 3 nara sumber Penulis Sejarah Nasional, KH. Agus Sunyoto, Ahmad Tohari dan Ravi Ananda.

Ketua Panitia Ahmad Nur Ridwan, S.Pd.I dalam sambutannya menyampaikan, Tujuan diadakannya seminar Napak Tilas Perang Diponegoro di Gombong itu, agar mendapatkan gambaran utuh tentang sosok Pangeran Diponegoro dan motif Perang Jawa- 1825 – 1830 dan kaitannya dengan resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945 yang melahirkan Perang Surabaya 10 November 1945.

Ridwan menambahkan, dari anak muda khususnya Ansor Kebumen minta diberi ilmu dari para sesepuh untuk melanjutkan jati diri dan jejak-jejak para pahlawan. “kami mohon arahan dan kerjasamanya dari semua pihak untuk mendukung dan melancarkan kegiatan-kegiatan Ansor,” imbuhnya yang juga Ketua GP Ansor PC Kebumen itu.

Dalam paparannya, KH. Agus Sunyoto menjelaskan Bahwa Diponegoro adalah seorang santri yang tidak pernah mau tunduk terhadap kolonialisme Belanda. Meskipun secara riil Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, tetapi perlawanan terhadap penjajah masih terus dilanjutkan oleh penerus Pangeran Diponegoro. “Beberapa keturunan Diponegoro adalah HOS Cokroaminoto, KH Wahab Chasbullah, KH Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya.” jelasnya.

Kyai Agus menambahkan, perang Jawa sebagaimana yang disebut Sang Pangeran adalah perang sabil (sabilillah: membela agama dan negara). “Begitu juga Fatwa dan Resolusi Jihad NU yang mengkombinasikan antara ideologi agama dan nasionalisme.” papar penyusun Atlas Walisongo itu.

Sementara itu, Ahmad Tohari menjelaskan dalam sastra Jawa berupa tembang yang familiar di kalangan masyarakat dengan tajuk. “Tumekaning Jaman Edan karya penyair terkenal Jawa Ronggowarsito menyebutkan bahwa molimo sudah terjadi di internal aristrokrat Mataram. Diponegoro tidak pernah tersentuh ini sebab Diponegoro adalah seorang santri taat,” pungkasnya. (sfd)